Jumat, 06 Desember 2013

REWARD DAN PUNISHMENT

Melalui metode habluminallah dan habluminannas anak akan terpelihara fitrahnya tanpa kehilangan ekstensinya sebagai manusia kecil yang butuh pemahaman. Pada bab ini akan membahas pemahaman bagaimana mencari cara maupun metode dalam mempersiapkan tumbuh kembangnya seorang anak.
A.           Pengertian Reward dan Punishment
Dari pengertian istilah, reward  sama dengan ganjaran. Sedangkan dalam bahasa arab, reward (ganjaran) diistilahkan dengan tsawab.kata ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an yang membahas tentang apa yang akan diterima oleh seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Kata tsawab selalu diterjemahkan kepada balasan yang baik.
Kata tsawab ini dalam pendidikan adalah pemberian ganjaran yang baik terhadap perilaku dari peserta didik.
Dalam pengertian yang lebih luas, istilah reward dapat diartikan sebagai alat pendidikan preventif dan reseptif yang menyenangkan dan bisa menjadi pendorong  (motivator) belajar bagi murid dan sebagai hadiah terhadap perilaku yang baik dalam proses pendidikan.
Punishment (hukuman) dalam bahasa arab di istilahkan dengan ‘iqab. Kata ‘iqab kaitannya dalam dunia pendidikan  diartikan sebagai alat pendidikan preventif dan refresif yang paling tidak menyenangkan dan balasan dari perbuatan yang tidak baik yang dilakukan anak.
Reward and Punishment  (ganjaran dan hukuman) dalm ilmu pendidikan pedagogi dipandang sebagai bagian dari proses pendidikan. Pemberian hukauman ditujukan member efek jera dan mencegah berlanjutnya perilaku negative dan ganjaran berguna untuk penguatan atas perilaku positif.
Al-Abrasyiberpendapat, hukuman itu tidak dirancang sebagai Qishos (balasan) atau Intiqom (siksaan). Justru hukuman itu harus diperlakukan sebagai Islah (perbaikan) dan perlindungan terhadap murid-murid yang lain. Hukuman juga tidak boleh diberlakukan kecuali dalam keadaan terpaksa atau darurat. Memukul anak didik juga tidak boleh kecuali anak tersebut sudah dinasehati, diperingati, dan dimediasi oleh pihak ketiga. Mengapa demikian ? karena hukuman fisik akan membekas pada anak didik secara psikis.
Menurutnya pula, ada tiga syarat jika hukuman fisik dilakukan. Yaitu:
1. Tidak boleh memukul anak didik dibawah usia sepuluh tahun
2. Pukulan tidak boleh lebih dari tiga kali
3. Anak didik diberi kesempatan untuk menyesal dan tidak boleh mengulanginya lagi

Keluarga merupakan suatu sistem sosial paling awal yang berusaha menumbuh kembangkan sistem nilai, moral dan sikap kepada anak.hal ini didorong oleh keinginan dan harapan orangtua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta memiliki perilaku yang baik dan terpuji.
Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, larangan, reward (penghargaan), punishment (hukuman) merupakan pengembangan nilai, moral dan sikap yang dikembangkan secara efektif dilingkungan sekolah.
Reward dimunculkan untuk memotivasi seseorang karena ada anggapan bahwa dengan memberikan hadiah atau penghargaan atas perilaku baik dan hasil pekerjaannya, ia akan mempertahankan perilaku baiknya dan belajar dengan optimal. Sedangkan punishment dimunculkan untuk memotivasi seseorang agar tidak melakukan kesalahan dalam melakukan sesuatu. Kedua motivasi ini tidak bisa dikatakan mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi lebih cocok jika dilihat dari baik dan buruknya, bukan benar atau salahnya.
Namun demikian, jenis hukuman (punishment) anak yang satu dengan anak yang lainnya tidak bisa disamaratakan karena karakter dari diri mereka masing-masing pun berbeda. Dalam kasus-kasus tertentu bisa, tapi dalam kasus yang lain tentu tidak, terutama faktor umur hendaknya sangat diperhatikan. Misalnya hukuman untuk anak kelas satu tentu berbeda dengan anak kelas lima SD.
Islam memberikan beberapa konsep hukuman ditinjau dari segi manfaatnya. Pemberian hukuman harus didasarkan pada konsep tidak untuk menyakiti, menyiksa atau balas dendam. Tujuan memberikan hukuman dapat memberikan sesuatu yang baik, mendidik bagi anak-anak. Pada dasarnya, hukuman yang baik disertai dengan pemanfaatan dan toleransi, kecuali untuk hal-hal yang jelas menurut syariat. Namun demikian, pemberian ganjaran (reward) dan hukuman (punishment) adalah sebagai salah satu metode pendidikan sebagaimana Islam memerintahkan untuk bersikap lemah lembut dan kasih sayang kepada anak, sungguh Islam pun melarang sikap berlebihan dan keterlaluan dalam hal kasih sayang. Untuk itu, tiada jalan lain sewaktu-waktu orang tua atau guru bersikap tegas dan berwibawa agar jiwa anak didik tidak berkepanjangan dalam hal kenakalan dan penyimpangannya.
 Dalam proses belajar, reward menjadi faktor terpenting karena perangsang itu (reward) memperkuat respon yang pernah dilakukan. Misalnya sistem pemberian hadiah pada anak yang telah melakukan hasil yang baik, sehingga anak akan lebih giat belajar. Namun disisi lain, kebiasaan mendapat hadiah akan merubah tingkah laku anak, ia akan selalu menunggu hadiah, kalau tidak ada hadiah dia tidak mau belajar.
Penghargaan terbaik adalah sanjungan dan pujian, dan penghukuman terburuk adalah ketidak-setujuan. Ketika anak-anak bertindak dengan baik maka mereka mesti dipuji (diberi reward), sebaliknya ketika bertindak buruk, sebagai punishmentnya maka diberikan “tatapan dingin” saja yang membuat mereka berintrospeksi diri.



Rabu, 04 Desember 2013

The paradox of Yudhoyono’s leadership


M Alfan Alfian, Jakarta | Opinion | Thu, April 04 2013, 10:42 AM
The Democratic Party finally confirmed in its extraordinary congress the appointment of its chief patron President Susilo Bambang Yudhoyono as the new party chairman. Yudhoyono now holds the four most powerful posts in the ruling party. Apart from the top executive and chief patron posts, Yudhoyono also chairs the supreme assembly and disciplinary council.

Yudhoyono’s decision to accept the chairman’s job only affirms political centralization in the Democratic Party.

It is difficult to imagine the institutional development aspect of a modern party like the Democrats, because the recent congress has strengthened the traditional pattern of patronized leadership.

Under the pretext of the state of emergency that followed the resignation of Anas Urbaningrum as the chairman after the Corruption Eradication Commission (KPK) declared him a suspect in a graft case, the elite of the party seems to have lost its creativity in finding an alternative successor.

The elite simply resorted to Yudhoyono as the only figure capable of salvaging the party, despite his warning that the party should rely on systems, not individuals.

The party elite resembles a Yudhoyono fan club. As the country’s largest party, the Democrats have failed to emerge from the crisis and that may inspire other parties.

On the contrary, the concentration of power in the hands of Yudhoyono, who is also President, shows a serious leadership crisis.

Yudhoyono did set certain conditions so that his party tasks would not distract his focus on state duties in the remaining 19 months of his term. Yudhoyono named Syarifuddin Hasan as executive chairman and EE Mangindaan. Executive patron board chairman, being both party chief and President does not reflect the spirit and discipline that modern statesmen should comply with.

There is no formal prohibition to taking both jobs except for ethical concerns that state duties and party commitments are very much prone to conflicts of interest.

Yudhoyono may look to the practice in the past, when presidents also held party posts to justify the move, but this is irrelevant and marks a setback in the Democrats’ aim to build a modern party.

Claiming himself as a champion of democracy, Yudhoyono should have left the nation a legacy that would have earned him the credit of being a great statesman— if only he had followed the words of Manuel Luis Quezón: “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins”. Unfortunately that hope has now faded.

Quoting James MacGregor Burns in his book Leadership (1978), a leadership crisis is especially characterized by a deterioration of political leadership qualities in an organization.

Not all leaders today are capable of matching the quality of their predecessors, let alone setting an example of a democratic model of leadership.

Burns does not bother debating whether leaders are born or created, but rather he underlines the responsibilities of leadership.

He says the structure of motivation,
values and objectives distinguishes leaders in terms of influence and quality.

Burns emphasizes transformational leadership and the importance of collectivity in political leadership.

The explanation is quite rational — that one-man leadership or centralized leadership is a contradiction in terms.

Political leaders work by taking into consideration the potential and the needs of their supporter base.

A single and centralized leadership by itself would be fragile, precisely because the leader ignores the potential of collectivity. In this context, collectivity precisely reflects the factions that grow naturally and are managed.

Centralized leadership is a denial of the natural conditions of organizations, which consist of factions. An organization may be without factions, but single and centralized leadership itself is a manifestation of a political faction in the midst of potential factions.

Political factions can be strengthened and weakened in line with personal power.

Burns inspires us to realize political leadership that minimizes but not eliminates contradictions. Democracy should not be exercised for manipulative intent just to maintain influence and power, as evident in the behavior of our current leaders.

Many leaders often speak about democracy, but their attitude and policies run counter their statements.

They instead accumulate power for themselves. Political democracy allows political leaders to maneuver to centralize power, but is also full of risks.

Accommodating factions within an organization also means anticipating the regeneration of leadership. Real political factions can be managed with an emphasis on developing a political system based on meritocracy.

Unfortunately, oligarchic political or elite-centered organizations usually ignore the principles of democracy when it comes to a state of emergency and rescue measures to salvage their political groups.

They inhibit the natural regeneration of political leadership. They preserve the traditional patronage leadership that benefits oligarchs and elites.

That, unfortunately, is the real picture of today’s Democratic Party and the paradox of Yudhoyono’s leadership style.

The writer lectures on social and political science at the National University, Jakarta.